PERJUMPAAN Islam dengan Budaya Sunda tidak melanggengkan tradisi lama seperti Sunda Wiwitan dan tidak memunculkan ajaran baru seperti Agama Djawa Sunda dan aliran kepercayaan Perjalanan adalah adaptasi antara Islam sebagai ajaran agama dengan tradisi budaya yang melekat di masyarakat. Hal ini dapat dipahami karena umumnya dalam tradisi budaya masyarakat Muslim di tanah Jawa oleh Mark R. Woodward disebut Islam-Jawa, adaptasi unsur-unsur tradisi dengan Islam tampak sekali, misalnya adaptasi budaya dalam penamaan bulan. Bulan-bulan dalam tradisi Jawa "termasuk juga Sunda" sebagian mengadaptasi bulan Hijriah yaitu Sura (Muharram), Sapar (Shafar), Mulud (Rabiul Awwal), Silih/Sawal Mulud (Rabiul Akhir), Jumadil Awal (Jumadil Awwal), Jumadil Akhir (Jumadil Akhir), Rejeb (Rajab), Ruwah (Sya’ban), Puasa (Ramadan), Sawal (Syawal), Kapit/Hapit (Zulkaidah), dan Rayagung/Raya Agung (Zulhijah).
Penyesuaian yang bijaksana atas sistem kalender Jawa Kuno (tahun Saka) ke dalam sistem kalender Islam dibuat tahun 1663 Masehi oleh Sultan Agung dari kerajaan Mataram yang menetapkan tahun 78 Masehi sebagai titik awal tahun Saka. Dengan sistem penanggalan baru tersebut, bulan pertama dalam kalender Jawa disamakan dengan bulan pertama kalender Islam yang sekarang menginjak tahun 1936 Saka (1424 H). Hal ini menurut Bekki (1975) dalam “Socio Cultural Changes in a Traditional Javanese Village” dimungkinkan dalam kehidupan beragama di Jawa, karena sikap lentur orang Jawa terhadap agama dari luar. Meskipun kepercayan animisme sudah mengakar sejak zaman dahulu, orang Jawa dengan mudah menerima agama Hindu, Budha, Islam, dan Kristen, lalu ‘men-jawa-kan’ semuanya.
Islamisasi di tatar Sunda selain dibentuk oleh ‘penyesuaian’ juga dibentuk melalui media seni yang digemari masyarakat. Ketika ulama masih sangat jarang, kitab suci masih barang langka, dan kehidupan masih diwarnai unsur mistis, penyampaian ajaran Islam yang lebih tepat adalah melalui media seni dalam upacara-upacara tradisi.
Salah satu upacara sekaligus sebagai media dakwah Islam dalam komunitas Sunda yang seringkali digelar adalah pembacaan wawacan dalam upacara-upacara tertentu seperti tujuh bulanan, marhabaan, kelahiran, dan cukuran. Seringnya dakwah Islam disampaikan melalui wawacan ini melahirkan banyak naskah yang berisi tentang kisah-kisah kenabian, seperti Wawacan Carios Para Nabi, Wawacan Sajarah Ambiya, Wawacan Babar Nabi, dan Wawacan Nabi Paras yang ditulis dengan huruf Arab, berbahasa Sunda dalam bentuk langgam pupuh, seperti Pupuh Asmarandana, Sinom, Kinanti, Dangdanggula, dan Pangkur. Untuk mengikat pendengar yang hadir, si pembaca naskah menguncinya dengan membaca sebuah kalimat: Sing saha jalma anu maca atawa ngadengekeun ieu wawacan nepi ka tamat bakal dihampura dosa opat puluh taun. Dengan khidmat, si pendengar menikmati lantunan juru pantun yang berkisah tentang ajaran Islam ini dari selepas isya hingga menjelang subuh.
Sejak agama Islam berkembang di Tatar Sunda, pesantren, paguron, dan padepokan yang merupakan tempat pendidikan orang-orang Hindu, diadopsi menjadi lembaga pendidikan Islam dengan tetap menggunakan nama pasantren (pasantrian) tempat para santri menimba ilmu agama. Pesantren ini biasanya dipimpin seorang ulama yang diberi gelar “kiai”. Gelar kiai ini semula digunakan untuk benda-benda keramat dan bertuah, tetapi dalam adaptasi Islam dan budaya Sunda, gelar ini melekat dalam diri para ulama sampai sekarang. Di pesantren ini jugalah huruf dan bahasa Arab mendapat tempat penyebaran yang semakin luas di kalangan masyarakat Sunda dan menggantikan posisi huruf Jawa dan Sunda yang telah lama digunakan sebelum abad ke-17 Masehi.
Dalam sejumlah doktrin dan ritus tertentu, di Tatar Sunda pun berkembang ajaran Islam yang mengadopsi unsur tapa dalam agama Hindu dan diwarnai aspek-aspek mistis dan mitologis. Dari banyak unsur tradisi Hindu-Jawa yang tetap bertahan adalah kesaktian, praktik tapa, dan tradisi Wayang yang terakomodasi dalam jalan orang-orang yang mencari kesalehan normatif sekaligus melestarikan ajaran kebatinan.
Dalam bidang arsitektur, pembangunan arsitektur masjid dan rancang bangun alun-alun dan keraton diwarnai perpaduan antara budaya Sunda dengan Islam. Di setiap alun-alun kota kecamatan dan kabupaten sejak Sunan Gunung Jati berkuasa (1479-1568) dibangun Masjid Agung yang terletak di sebelah barat alun-alun, di samping pasar, keraton, serta penjara dengan penyesuaian fungsi dan posisinya sebagai bangunan pusat pemerintahan kerajaan berdasarkan Islam dengan masjid (bale nyungcung) sebagai simbol utama. Simbol bale nyungcung ini mengisyaratkan adaptasi tempat Sanghyang Keresa bersemayam di Buana Nyungcung (buana atas) dalam ajaran Sunda Wiwitan.
Beberapa contoh di atas, perjumpaan Islam dengan budaya Sunda telah melahirkan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, pertumbuhan kehidupan masyarakat Islam dengan adat, tradisi, budaya yang mengadaptasi unsur tradisi lama dengan ajaran Islam melalui pola budaya yang kompleks dan beragam telah melahirkan pemikiran, adat-istiadat, dan upacara ritual yang harmoni antara Islam dan budaya Sunda.
Kedua, berkembangnya arsitektur baik sakral maupun profan, misalnya masjid (bale nyungcung), keraton, dan alun-alun telah mengadaptasi rancang bangun dan ornamen lokal termasuk pra Islam ke dalam rancang bangun arsitektur Islam.
Ketiga, berkembangnya seni lukis kaca dan seni pahat yang menghasilkan karya-karya kaligrafi Islam yang khas, kesenian genjring dan rebana yang berasal dari budaya Arab, dan berbagai pertunjukkan tradisional bernapaskan Islam dengan mudah merasuki kesenian orang Sunda yang seringkali muncul dalam pentas seni dan pesta-pesta perkawinan.
Keempat, pertumbuhan penulisan naskah-naskah keagamaan dan pemikiran keislaman di pesantren-pesantren telah melahirkan karya-karya sastra dalam bentuk wawacan, serat suluk, dan barzanji yang sebagian naskahnya tersimpan di keraton-keraton Cirebon, museum, dan di kalangan masyarakat Sunda, dan
Kelima, berbagai upacara ritual dan tradisi daur hidup seperti upacara tujuh bulanan, upacara kelahiran, kematian, hingga perkawinan yang semula berasal dari tradisi lama diwarnai budaya Islam dengan pembacaan barzanji, marhabaan, salawat, dan tahlil.
Karena itulah, tidak bisa dimungkiri bahwa perjumpaan Islam dengan budaya dan komunitas masyarakat di wilayah tatar Sunda telah melahirkan tiga aspek religiusitas yang berbeda. Pertama, terkungkungnya satu wilayah religius yang khas dan terpisah dari komunitas Muslim Sunda di Kanekes (Baduy) yang melanggengkan ajaran Sunda Wiwitan; kedua lahirnya tradisi, budaya, dan religi baru yang mencampurbaurkan antara ajaran Islam dengan tradisi sebelumnya seperti yang dikembangkan dalam Ajaran Jawa Sunda di Cigugur Kuningan dan aliran kebatinan Perjalanan di Ciparay Kabupaten Bandung; dan ketiga terciptanya kehidupan harmoni dan ritus keagamaan yang berasal dari Islam dengan tradisi yang telah ada dan satu sama lain saling melengkapi.
Terlepas dari itu semua, pemahaman pelaksanaan adaptasi dan harmoni antara Islam sebagai ajaran agama dengan tradisi Sunda sebagai adat istiadat warisan budaya lama disadari akan menimbulkan pemaknaan yang berbeda. Di satu pihak ada yang menganggap bahwa berbagai upacara tradisi itu adalah adat istiadat yang perlu tetap dilestarikan dan sejalan dengan agama Islam, bahkan menjadi ‘sunah’, sebaliknya di pihak lain ada yang beranggapan bahwa ajaran Islam yang diwarnai oleh tradisi dan budaya Sunda adalah bentuk perbuatan bid'ah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar